Kenapa Kita Percaya yang Tidak Pernah Kita Baca?
Potongan video lebih memengaruhi opini daripada dokumen resmi. Fenomena
ini bukan sekadar masalah literasi, tapi cerminan dari logika publik yang
semakin menjauh dari sumber primer.
Dalam sudut pandang studi literatur, membaca bukanlah sekadar aktivitas pasif. Melainkan proses menelusuri, memverifikasi, dan memahami konteks.
Namun, dalam praktik sosial-politik kita, banyak keputusan dan sikap yang diambil berdasarkan interpretasi orang lain terhadap teks yang bahkan belum pernah dibaca.
Rancangan Undang-Undang yang dibahas ratusan
halaman, bahkan hanya dipahami dari tiga pasal yang viral. Begitu juga kebijakan
publik, dikritik atau dibela tanpa menyentuh naskah aslinya.
Contoh paling nyata adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Di tengah kontroversi dan revisi diam-diam, publik bereaksi keras terhadap substansi yang tersebar di media sosial.
Tapi berapa banyak yang benar-benar
membaca naskah resmi?
Nah, disinilah studi literatur menjadi penting. Bukan
untuk membenarkan atau menyalahkan, tetapi untuk memahami.
Ketika literatur diabaikan, logika publik menjadi
rentan. Pada akhirnya, kita tidak lagi percaya karena memang benar, tetapi karena ramai. Kita
mendukung bukan lagi karena rasional, melalinkan karena emosional.
Maka, tantangan hari ini bukan sekadar membaca, tapi
membaca ulang—dengan kesadaran, dengan skeptisisme, dan dengan komitmen pada
sumber primer.
Sebagai pembaca StudiLiteratur, mari mulai dari
yang sederhana. Buka satu dokumen public, baca satu laporan riset, dan temukan
satu kalimat yang membuatmu berpikir ulang. Karena perubahan besar sering
tersembunyi di kalimat kecil yang tidak pernah kita baca.
Penulis: Mawardi Janitra
Posting Komentar untuk "Kenapa Kita Percaya yang Tidak Pernah Kita Baca?"
Silahkan tuliskan komentar atau pertanyaan yang berhubungan dengan postingan diatas.